Agenda Terbaru

Statitik Pengunjung

63067
today Hari ini 11
yesterday Kemarin 62
minggu ini Minggu ini 1360
muhdela Minggu kemarin 0
muhdela Bulan ini 484
muhdela Bulan kemarin 900
muhdela Total Kunjungan 63067
Your IP: 18.118.32.213
Unknown
Kamis, 25 April 2019

Jati Diri

Jati Diri

“Ah…, embuh, ra weruh!” kata Livia pada mamanya.

“Loh, kok begitu, Liv?”

“Iya, aku nggak ngerti apa yang mamah suruh ke aku.”

“Sekarang aku nggak mau sibuk mikirin tradisi yang sudah kuno itu,” sambil meninggalkan mamanya. Masih terdengar suara gerutu Livia.

Menurut Livia sudah ketinggalan zaman kalau mempelajari tradisi kuno peninggalan nenek moyangnya dulu.

***

Livia merupakan anak terakhir dari Bu Tutik dan Pak Adi. Anak tertuanya sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota.

Saat liburan sekolah, kakak Livia dan keluarganya pulang menjenguk orangtuanya. Saat-saat seperti ini merupakan saat yang dinanti karena bisa berkumpul dengan keluarga. Kebetulan sekolah Livia juga libur semster. Sedangkan ibunya juga libur satu minggu setelah penerimaan rapor. Mamah Livia seorang guru. Ayah mereka selalu di rumah sekarang karena ayah Livia sudah pensiun sejak dua tahun lalu. Sekarang hanya di rumah mengurusi ayam kate dan burung kicaunya.

Beberapa hari awal kedatangan kakaknya di Jogja membuat keluarga Livia bisa berkumpul. Makan malam bersama juga ngobrol di ruang tamu. Hanya saja Livia tidak bisa berlama-lama kalau berkumpul. Sebentar-sebentar hp nya berbunyi. Pergi ke kamar. Angkat telepon. Kakanya heran.

Suatu ketika Livia pergi bersama teman-teman yang menghampirinya. Pulang sudah larut. Semua sudah tidur kecuali mamahnya. Mamahnya selalu setia menunggu anak ragilnya itu. Itulah kebiasaan Livia. Orangtuanya sudah menasihati berkali-kali. Hasilnya nihil.

Sampai pada suatu malam, ketika Krisna, kakak Livia belum tidur. Livia pulang.

“Kamu kemana saja,Liv?” tanya Krisna menyambut kedatangan adiknya.

“Main, Mas,” jawab Livia pendek.

“Main kok sampai malam begini? Bukannya tadi kamu pergi pagi-pagi?”

“Iya. Kenapa?”

“Ini sudah malam, Liv. Sudah larut. Perempuan kok pulang malam.”

“Biasalah, Mas. Anak muda,” Livia masih menjawab dengan santai.

“Iya itu, Kris. Coba kamu nasihatin adikmu. Kerjanya cuma main nggak jelas. Kalau Mamah yang nasihatin mana dia mau denger,” tiba-tiba Mamah menyambung pembicaraan saat muncul dari dapur.

“Mama ini sukanya ngadu. Seharusnya Mamah belain aku,” Livia membela diri, berharap mamahnya membantunya.

“Mamah selalu dukung kamu. Belain kamu. Dengan catatan yang kamu lakukan kegiatan positif. Bermanfaat. Anak perepmuan kok begitu kelakuannya,” Mamah menghela nafas.

“Mamah itu nggak gaul sih. Jaman sekarang kalau nggak seperti ini ya ketinggalan,” sambil bergaya, mengibaskan rambut dan berlagak seperti model.

“L I V I A!” tiba-tiba Krisna membentak. Suaranya keras bergetar.

“Dinasihatin malah mbantah. Ora ilok itu! Saru!” dada Krisna bergemuruh. Seketika darahnya naik karena tidak terima Mamahnya dibantah.

Ibu hanya diam. Tidak sampai mau berkata-kata. Livia sudah kebal. Dibentak pun, ia masih menatap yang membentak. Tak punya takut.

“Lihat pakaianmu! Tidak tau malu,” sambil menunjuk pakaian yang dikenakan Livia.

“Loh, Mas ini bagaimana to. Tren jaman sekarang kan seperti ini. Ini yang disebut gaul. Anak masa kini. Bukan anak ndeso, kutul, nggak njamani,” Livia masih bersikukuh. Tidak mempan dinasihati.

“Gaul macam apa! Itu kebablasen. Ingat, Liv, setiap saat tren itu berubah. Dan yang paling penting, tidak semua kemajuan jaman kamu telan mentah-mentah.”

Krisna menarik nafas. Mencoba lebih tenang. “Kamu itu harus bisa memilih. Boleh saja mengikuti perkembangan jaman. Tapi jangan yang melenceng. Apalagi merusak diri.”

Kali ini wajah Livia menunduk. Menatap lantai.

“Pakaian, model rambut, cara bergaul, dan sikapmu udah ndak bener. Unggah-ungguh, subo-sito terhadap orang tua sendiri sudah kamu injak-injak. Tidak terkontrol. Kamu termakan iklan, ikut-ikutan teman, media sosial, dan omongan orang saja. Kamu sudah kehilangan jati diri sebagai orang Timur. Orang Timur yang berbudaya luhur.”

Merasa kalah. Tidak bisa berkilah lagi. Livia pergi. Segera menuju kamar. Membanting pintu sekeras-kerasnya. Dikunci.

***

Sejak semalam Livia tidak mau keluar kamar. Padahal sejak pertama Krisna datang sudah merencanakan hari ini akan mengunjungi kakek dan nenek di Gunungkidul.

Dipanggil mamahnya berkali-kali tak ada jawaban dari kamar. Mamahnya tidak heran dengan kelakuan Livia. Seperti biasanya apabila minta sesuatu dan tidak dituruti pasti seperti itu. Ngambek.

Akhirnya mereka berangkat ke Gunungkidul tanpa Livia.

***

Semalaman Livia tidak bisa tidur. Kata-kata kakaknya membuatnya sakit hati. Belum ada orang yang berani menasihati bahkan membentaknya seperti semalam. Bahkan, mamahnya tidak berani lagi membentaknya setelah kejadian Livia pulang larut, hamper pagi dan dibentak mamahnya. Setelah dibentak mamahnya justru Livia tidak pulang tiga hari. Mamahnya kelabakan. Walaupun Livia akhirnya mau dibujuk pulang dengan persyaratan yang diajukannya.

Livia sakit hati karena dia di rumah tidak ada yang mengatur. Tidak ada yang komentar. Mamah dan ayahnya sudah kehabisan akal menasihati anaknya itu.

Rumah sudah sepi. Livia sendiri di rumah. Ia tahu bahwa keluarganya sudah berangkat dua jam yang lalu. Mungkin sudah sampai di rumah neneknya.

Hp Livia berbunyi berkali-kali. Teman-temannya mengajaknya pergi. Livia belum minat. Temannya membujuk. Merajuk. Mengejek. Mengolok. Dia sudah beralasan berkali-kali menolak. Malah bercerita kalau semalam dimarahi kakaknya.

“Halah, begitu saja takut. Mau jadi alim ya?” salah satu teman menelpon setelah jengkel membujuk tidak mau juga.

“Ih, cemen amat. Dulu waktu diomelin nyokap, malah kamu gak pulang tiga hari,” teman satunya lagi komentar.

“Eh, Liv. Dengerin ya. Kamu gak usah pulang lagi aja. Main sama kita-kita. Nanti juga mamah kamu itu bakal nangis nyariin kamu. Kamu suruh pulang. Kamu minta beliin ini itu sebagai syarat. Beres deh,” teman lain menimpali.

Livia kegerahan. Gerah mendengar omongan teman-temannya.

“Udah deh. Sekarang kamu siap-siap. Kita jemput ke rumah. Kita akan senang-senang.”

Tidak sempat Livia menjawab telepon sudah dimatikan. Livia tidak pikir panjang. Hatinya bebal kembali. Teman-teman jauh lebih dipercayai daripada keluarganya. Ia pergi.

***

Mamah Livia dirawat di rumah sakit. Hanya ayah yang menunggui. Krisna tidak bisa terlalu lama libur. Harus kerja. Sudah sepuluh malam Livia tidak pulang. Tak ada kabar.

Mamahnya mendadak pingsan sepulang dari Gunungkidul melihat perhiasan dan uang tabungan untuk kuliah Livia ludes. Siapa lagi kalau bukan anak perempuannya yang membawa. Mamahnya sakit bukan karena harta, tetapi sudah tidak tahan dengan kelakuan anaknya.

Genap dua minggu Livia tidak pulang. Mamahnya membuka mata di pembaringan. Ayah tertidur kelelahan di samping mamah.

Mamah melotot. Mulutnya menganga. Air matanya tak bisa keluar dari pelupuk mata. Hanya saja hatinya benar-benar sakit. Tak tertahankan.

“Livia Adi Astuti ditemukan tewas stelah pesta narkoba dengan delapan temannya. Lima ditemukan sudah tidak bernyawa dan lainnya meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Korban merupakan pelajar …”

Mamah tersengal. Suara berita tak bisa didengar lagi. Tangannya mencengkeram lengan ayah yang tertidur. Tubuh mamah mengejang. Kaku.

 

Yogyakarta, 13 Maret 2015

  

Rahmad D Santosa lahir di Gunungkidul 22 April 1989. Kini ia telah membina keluarga dan sudah dikaruniai seorang anak. Ia tinggal di Sleman Yogyakarta. Ia menjadi guru di Kota Yogyakarta sejak 2012. Selain mengajar, ia juga menulis untuk menyalurkan hobinya.

Last update: 2019-04-25 22:48:23